Sinar matahari kian redup dan berganti gulita. Pendar
cahaya bulan menjadi penerang utama saat kami bertemu
dengan Jaro
Dusun Cibeo. Jaro
adalah sebutan bagi wakil pu’un atau
kepala dusun.
Pria yang mengaku tak ingat lagi
nama lahirnya itu lebih sering dipanggil Ayah
Sami atau JaroSami,
mengacu pada anak sulungnya. Sudah lazim bagi warga Baduy menggunakan
panggilan nama anak pertama mereka.
Perbincangan yang dilakukan di
beranda rumahnya itu hanya diterangi oleh cahaya lampu minyak buatan sendiri.
Tak ada aliran listrik ke kampung mereka yang berjarak sekitar 40 Kilometer
dari Rangkasbitung, Lebak, Banten.
Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik adalah
tiga dusun di Desa
Kanekes yang terisolir dan dihuni oleh masyarakat adat Baduy
Dalam . Sedangkan, masyarakat Baduy
Luar , tersebar di Desa Kanekes mengelilingi wilayah Baduy
Dalam.
Mengawali kisah Suku Baduy Dalam, Jaro Sami menguraikan pakaian yang
mereka kenakan sehari-hari. Baju berwarna putih, kain sarung hitam, dan ikat
kepala putih menjadi pakaian keseharian mereka.
Sesekali, saat melakukan
perjalanan ke Baduy
Luar , atau ke luar Baduy ,
baju putih mereka berganti menjadi pakaian berwarna hitam.
"Pakaian hitam dan putih itu
amanah dari nenek moyang, itu wajib. Kami harus taat pada aturan, begitu juga
dengan rumah dan perabotan juga harus sama," ujarnya dengan bahasa dialek
Sunda-Banten.
Bagi masyarakat Baduy Dalam yang
menganut kepercayaan Sunda Wiwitan,
amanah leluhur adalah segala-galanya. Bila tak menaati, mereka akan terkena
sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam.
Sebenarnya, masyarakat Baduy lebih menyukai
menyebut mereka sebagai Urang Kanekes atau
Orang Kanekes seperti nama desa yang mereka huni. Sebutan Baduy diberikan oleh
penduduk luar kepada mereka yang berawal dari peneliti Belanda karena disamakan
dengan kelompok Arab Badawi dengan kehidupannomaden.
Memang, diakui Jaro Sami, bahwa 140 kepala keluarga
di Kampung Cibeo selalu tinggal secara berpindah-pindah. Terakhir kali bedol
desa, dilakukan 18 tahun silam dengan memindahkan 97 rumah masyarkat Cibeo
akibat kebakaran hebat kala itu.
Rumah tempat mereka tinggal
direkatkan tanpa paku dan semen. Suku Baduy Dalam hanya menggunakan kayu,
bambu, ijuk, dan daun pohon aren yang diikat menggunakan tali untuk mendirikan
rumah.
Setiap rumah hanya diperbolehkan
menghadap utara dan selatan. Tak ada perbedaan bentuk rumah, maupun perabotan
yang digunakan setiap keluarga Baduy Dalam.
Sulit membedakan strata sosial
ataupun tingkat kekayaan warga Baduy Dalam. Pembeda kaya dan miskin bagi mereka
hanya dapat dilihat dari jumlah Leuit atau
lumbung padi yang diletakkan cukup jauh dari wilayah perkampungan.
Leuit menjadi tempat menyimpan hasil pertanian warga
Baduy Dalam. Setiap orang yang telah menikah, wajib hukumnya menggarap lahan
pertanian tanpa hak kepemilikan atas tanah.
Kebun lahan pertanian yang mereka
garap adalah milik adat. Urang Kanekes hanya
diperbolehkan menggarap sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan
pertimbangan kelestarian alam.
Keluarga Baduy Dalam lebih sering
menetap di dangau sembari menunggu lahan pertanian mereka. Anak-anak mereka
tidak boleh bersekolah formal dan hanya diharuskan belajar dari alam sambil
turut orang tua ke ladang.
Meski tak mengenyam pendidikan
formal, anak-anak Baduy Dalam mendapatkan pelajaran secara turun-temurun
khususnya terhadap adat istiadat warisan nenek moyang.
Saat tumbuh dewasa, anak-anak
Baduy yang telah berusia 18-20 tahun akan dinikahkan. Orang tua akan
menjodohkan anak-anaknya dengan sesama warga Baduy Dalam untuk menghidari
sanksi diasingkan secara adat.
"Yang menikahkan itu Pu'un, proses sejak lamaran sampai pesta pernikahan
bisa sampai 1 tahun. Setelah menikah, mereka tidak boleh bercerai, yang ingin
cerai bisa terkena sanksi adat diasingkan ke Baduy Luar," katanya.
Suku Baduy Dalam, akan menjadi
warga Baduy Luar secara otomatis apabila mereka menikah dengan warga Baduy
Luar. Tidak hanya itu, mereka juga akan menjadi warga Baduy Luar jika secara
sukarela ingin keluar dari Baduy Dalam.
Jaro Sami yang berusia 53 tahun dan menjabat sebagai Jaro sejak 20 tahun silam ini
mengakui, aturan-aturan adat bagi warga Baduy Dalam sulit dipahami oleh
masyarakat luar. Tetapi, aturan warisan nenek moyang tersebut harus
dilestarikan agar Baduy tak hilang ditelan zaman.
Hingga saat ini, orang Baduy
Dalam tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan, alas kaki, alat elektronik,
teknologi, sekolah formal, hingga tidak diperbolehkan mandi memakai sabun dan
bahan kimia lainnya.
Bersama Pu'un, Jaro dan
Tetua adat secara rutin menceritakan aturan, larangan, sanksi adat budaya Baduy
Dalam kepada generasi penerus mereka. Bahkan, mereka juga mengisahkan silsilah
nenek moyang secara turun-temurun bersama seluruh warga Baduy Dalam dalam
kesempatan tertentu.
Menurut kepercayaan yang mereka
anut, orang Kanekes adalah keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh
dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga
harmoni dunia.
Dikutip dari buku karya
Adimihardja (2000), pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan
pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis
dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim
keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan
dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di
Pakuan Padjadjaran atau di sekitar Bogor sekarang. Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting
dari Kerajaan Sunda.
Saat itu, Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis
perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah
pedalaman. Penguasa wilayah tersebut, Pangeran Pucuk Umum, menganggap bahwa kelestarian
sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola
kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus itu tampaknya menjadi cikal bakal
masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng.
Perbedaan pendapat tersebut
membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan
mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy
sendiri dari serangan musuh-musuh Padjadjaran.
Akan tetapi, terdapat versi lain
dari sejarah Suku Baduy. Dimulai ketika Kian Santang putra Prabu Siliwangi
pulang dari Saudi Arabia setelah memeluk Islam di tangan Sayyidina Ali.
Sang putra ingin mengislamkan
Sang Prabu beserta para pengikutnya. Pada akhir cerita, dengan 'wangsit
siliwangi' yang diterima Sang Prabu, mereka keberatan masuk Islam, dan menyebar
ke penjuru Sunda untuk tetap dalam keyakinannya.
Prabu Siliwangi dikejar hingga ke
daerah Lebak (Baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu, Sang
Prabu di daerah Baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana
Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Di Baduy dalamlah Prabu
Siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga mangkat tepatnya di
Cikeusik, Baduy Dalam, Desa Kanekes.
sumber : Bisnis.com
No comments:
Post a Comment