TIADA TUHAN SELAIN ALLAH





Tuesday 12 January 2016

Kebesaran Orang Buton Ada di Tanah Buton

No comments:
Kalau kita menumpang kapal laut ke Buton dan mulai merapat ke pelabuhan Murhum kota Bau-Bau (pusat Kesultanan Buton dahulu), maka yang pertama menarik perhatian kita adalah benteng keraton Kesultanan Buton yang berdiri kokoh dan megah di atas bukit kota Baubau. Kemarin ruang berita utama surat kabar harian Baubau Pos mengumandangkan hasil penyelidikan para arkeolog bahwa besar kemungkinan benteng keraton Kesultanan Buton itu merupakan benteng keraton terluas, terkuat, dan terasli di nusantara.
Jika sudah tiba di kota Baubau dan kita menyempatkan diri naik ke lingkungan benteng keraton Buton, maka yang pertama kita jumpai disisi kanan pintu gerbang benteng itu adalah Mesjid Agung Keraton Buton dengan tiang bendera Kesultanan Buton menjulang disisinya. Semua pewaris sejarah lisan di Buton mengakui bahwa tiang bendera kayu itu sudah berusia sekitar empat abad lamanya. Kemudian jangan lupa menginjakkan kaki ke malige (mahligai Kesultanan Buton) yang berdiri anggun di pertengahan kota Baubau. Rumah adat itu asli buah tangan arsitektur tradisional Buton, sebuah rumah panggung yang berjenjang bertingkat tanpa menggunakan pasak sebagai perangkainya.

Setelah menyaksikan dan mengetahui semua itu, dengan sedikit wawasan tentang sejarah dan kebudayaan kita sudah bisa berkesimpulan bahwa Buton pada masa lampau adalah Negara Kesultanan yang telah mencapai puncak peradaban yang tinggi di Nusantara ini. Siapa pun orang Buton yang mendengarkan kesimpulan kita itu seharusnyalah merasa bangga dan berterima kasih pada leluhurnya yang telah mewariskan peradaban yang setinggi itu kepada anak cucunya di tanah Buton ini.

Mari pula kita telusuri ilmu dan ajaran yang dititipkan para leluhur Buton. Bacalah berbagai naskah “Kabhanti Oni Wolio” yang ditulis oleh Sultan La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin yang bergelar Sultan Murhum (Sultan Buton yang pertama) atau yang ditulis oleh tokoh sufi La Ode Haji Abdul Ganiu. Lalu bandingkan pula dengan ajaran-ajaran Islam suluk yang dibisikkan dari mulut ke mulut atau yang disalin dari tangan ke tangan, seperti apa yang mereka sebut dengan “Insan Kamil”, “Zurriati Adam”, atau “Asrarul Aifin”, misalnya. Mari kita perhatikan pula tradisi penyampaian ajaran lisan orang-orang tua Buton yang selalu dalam bentuk ungkapan, kiasan dan bahkan simbolik, kemudian bandingkanlah dengan tradisi pepali yang sudah terbukti begitu efektif bagi pembinaan akidah akhlak anak-anak Buton dahulu. 

Sebelum selesai, mungkin juga takkan pernah selesai, kita menelaah dan mengkaji semua itu kembali kita akan terkagum-kagum bahwa leluhur Buton dahulu adalah orang-orang mulia, tokoh-tokoh sufi sekaligus pemimpin yang telah mencapai puncak kearifan yang tinggi di nusantara ini. Siapa pun kita yang mengaku orang Buton sepantasnyalah merasa bangga dan berusaha menghargai dan memelihara “nilai-nilai kearifan” itu sebagai pusaka titipan leluhur Buton yang tak ternilai harganya.

Dengan menggambarkan Buton seperti di atas, saya bermaksud ingin menegaskan sikap dan pandangan saya sebagai orang Buton, bahwa kebesaran Buton yang sesungguhnya adalah pencapaian “puncak peradaban” dan “puncak kearifan” di tanah Buton ini. Sebagai orang beragama dan berbudaya, jika generasi Buton sadar dan mau berjuang keras memelihara dan memberdayakan kedua pusaka dari leluhurnya itu, maka kebesaran dan kehormatan orang Buton tak akan pernah jatuh baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sayang sekali, maha karya leluhur yang bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam itu justru masih disia-siakan oleh anak cucunya sendiri. Kebesaran Buton ada di tanah Buton, tapi generasi Buton justru mengabaikannya. 

Di sini saya tak akan berpanjang urai lagi tentang mengapa generasi Buton hari ini seperti itu. Salah satu pokok penyebabnya telah saya paparkan pada artikel saya berjudul “Egomania Orang Buton, Antara Mitos dan Realitas” dalam sk harian Baubau Pos, 21 November 2010. Di sini saya hanya ingin mengomentari keadaan generasi muda Buton yang cenderung telah melalaikan ketinggian peradaban dan kekayaan nilai-nilai kearifan dari leluhurnya itu.

Di satu sisi, saya sangat menghargai tingginya kepedulian generasi muda Buton terhadap sejarah negerinya, seperti terlihat pada menjamurnya tulisan, diskusi, dan bahkan debat tentang sejarah Buton melalui jaringan internet pada saat ini. Namun, di sisi lain saya skeptis bahwa cara dan sikap yang mereka tunjukkan cenderung semakin jauh dari cara dan sikap seorang sejarahwan sejati. Tulisan dan gagasan mereka yang dikatakannya sebagai sejarah itu ternyata hanyalah tumpukkan sejumlah sketsa dan/atau fragmen tentang Buton. Hal-hal yang memprihatinkan saya dari sikap-sikap ilmiah mereka antara lain sebagai berikut ini.

Ada di antara mereka yang secara terbuka menggugat sejarah Buton dengan alasan sejarah Buton selama ini sangat berbau mitos, kurang didukung fakta, dan subjektif. Tapi sesudah saya baca seluruh episode tulisannya, tak pernah dijelaskan tentang sejarah Buton yang mana atau karangan siapa sebenarnya yang sedang digugat. Anehnya, ternyata dasar yang mereka gunakan dalam gugatan itu adalah “keberadaan Buton” dalam tulisan sejarah versi Majapahit atau versi Belanda. Lupakah mereka bahwa sumber yang mereka agungkan itu dibuat atas pesanan raja Kerajaan Majapahit yang terkenal haus kekuasaan atau atas restu pemerintah Belanda yang haus penjajahan. Apa jaminannya bahwa sumber-sumber itu tidak subjektif. Tidak terpikirkah oleh mereka bahwa dari manakah orang Majapahit dan orang Belanda memungut data itu kalau bukan dari Buton.

Lebih ironis lagi, dengan bersandar pada sumber-sumber tersebut mereka menuding tulisan “Sejarah Buton” karya La Ode Mulku Zahari sebagai mistos, berisi ilusi, dan subjektif. Entah hantu apa yang merasuki mereka sampai menyepelekan kredibilitas La Ode Mulku Zahari sebagai tokoh pelaku sejarah Buton yang berdarah asli Buton, dokumentator naskah-naskah asli Buton, yang berpuluh tahun mengumpulkan data dan informasi dari nara sumber yang paling andal di Buton dalam rangka penulisan sejarah Buton tersebut. Apakah mereka lupa atau tidak tahu, bahwa modal pertama dan paling utama bagi penulis sejarah itu adalah “niat baik” dan hanya untuk “ kebaikan”. Dalam penulisan sejarah apapun, demi kejujuran memang penting, tetapi yang lebih penting lagi dari itu adalah demi kebaikan. Orang-orang yang tidak beragama pun telah membenarkannya sejak tahun 70-an, bahwa ilmu pengetahuan yang mengabaikan nilai-nilai moral-spiritual hanya akan menimbulkan kehancuran dan konflik yang berkepanjangan. 

Dengan keprihatinan seperti di atas ini, saya merasa terdesak untuk memberikan pernyataan sikap bahwa: meskipun Anda berdarah tulen keturunan raja atau sultan Buton, lahir dari rahim tanah Buton, tumbuh dan besar di pusat benteng keraton Buton, tanpa kearifan Anda pasti tersesat dalam mencari dan menemukan Buton yang sesungguhnya. Buton bukan sejarah yang terkalahkan, Buton bukan mitos yang disejarahkan atau sejarah yang dimitoskan. Buton bukan pula sketsa atau fragmen yang dipungut dan dicomot begitu saja dari tulisan-tulisan pesanan penguasa Majapahit yang serakah kekuasaan atau tulisan-tulisan yang direstui penguasa Belanda yang haus penjajahan, dan bukan pula pernyataan tokoh-tokoh pejuang daerah lain yang penuh ambisi dan rakus kedudukan pada masa-masa awal kemerdekaan bangsa Indonesia yang harus kita cintai ini. Buton adalah sebuah Negara Kesultanan yang telah berhasil mencapai puncak peradaban Islam yang tinggi di Nusantara.

Kewajiban utama generasi Buton hari ini adalah menempatkan Buton pada proporsinya seperti itu. Generasi Buton hari ini tak perlu terlalu memaksa Buton untuk mewariskan pahlawan nasional, tak perlu terlalu mempertikaikan kebanggaan asal usul keturunan atau daerah asal, karena kesemuanya bisa menimbulkan sifat ria’ dan sombong yang sangat tercela dalam agama Islam, sehingga pasti pula tidak dikehendaki oleh leluhur Buton yang sangat mengutamakan keridhaan Tuhan dalam seluruh medan perjuangannya. Leluhur Buton telah memberikan sesuatu yang lebih dari semua itu, telah mewariskan “gedung peradaban Islam yang megah dan kokoh” serta menitipkan “lembaga kearifan” sebagai kunci emas untuk membuka dan merawat gedung peradaban yang membanggakan itu. Dengan kedua pusaka agung itu, tentu sangat kita mengerti bahwa leluhur di Buton tidak hanya mengharapkan anak cucunya untuk berjaya di dunia yang penuh tipu daya dan kepalsuan ini, tetapi juga bisa selamat dan terhormat tempatnya di akhirat kelak.

Marilah kita reguk berbagai minuman kearifan yang dititipkan leluhur kita di tanah Buton ini. Karena, hanya dengan kearifan itulah kita bisa layak menempati istana peradaban Islam yang diwariskan oleh leluhur kita di Buton ini. Marilah kita libatkan segala kemampuan dan keahlian generasi Buton untuk mengumpul, menggali, mengolah, dan mengamalkan segala nilai-nilai kearifan Buton yang terpendam selama ini. Mari pula kita libatkan seluruh tenaga dan keahlian generasi Buton untuk menegakkan kembali gedung peradaban Islam Buton yang sempat tertutup debu sejarah di tanah Buton ini. Mari kita mulai dari satu butir kearifan Buton ini: “orang arif tidak hanya tahu apa yang harus diperbuat, tetapi juga harus tahu apa akibat dari perbuatannya itu”.



No comments:

Post a Comment